Blog Gue - “Sesak nafas, nyeri dada dan tidak nafsu makan. Sudah 4 sampai 5 orang dokter didatangi, dokter umum, dokter jantung, dokter paru-paru. Tapi tidak sembuh-sembuh juga. Malah sekarang sudah lemas sekali dan kami minta dirawat.”Kata si anak, menjelaskan keluhan ibunya yang tampak sangat lemah.
”Ini rekam jantung dan ronsen dada serta perut normal-normal saja. Cuma pemeriksaan darahnya menunjukkan si ibu kurang asupan protein dan banyak kehilangan elektrolit karena mual-muntah.”Kataku menjelaskan masalah si ibu.
”Jadi bukan sakit jantung dan paru-paru ya dok?”Si ibu mulai agak legah mendengarnya.
”Bukan, mungkin karena ibu sedang kecapaian atau sedang banyak pikiran.”Lanjutku.
”Iya, dok. Ini terjadi sejak saya cerai dengan mantan suami 3 bulan yang lalu…”Si anak yang menjaga si ibu mulai menangis dan si ibu yang sakit pun juga menangis sesengukan.
Nah, dengan sangat terpaksa si ibu diberi obat penenang dan bagian ’pastoral care’ (petugas yang memberikan pelayanan rohani di rumah sakit sesuai dengan agama masing-masing pasien) pun kuminta menggali lebih jauh permasalahan yang melatarbelakangi si ibu jadi tertekan jiwanya.
Ternyata si ibu merasa bersalah dan kesal karena telah memaksakan anaknya dijodohkan dengan seorang dokter yang bertugas di rumah sakit luar kota.
Si anak perempuannya selalu dijaga dan dilarang berpacaran dengan siapapun, bila sudah tamat kuliah akan dicarikan jodoh oleh si ibu. Dan si ibu yang ekonominya lumayan makmur ini ternyata terobsesi memiliki mantu dokter.
Setelah minta dicarikan sana-sini maka tiga tahun lalu si ibu diperkenalkan dengan seorang dokter yang masih bujangan di sebuah rumah sakit daerah. Si dokter pun diperkenalkan dengan anak gadisnya dan entah bagaimana prosesnya dan siapa yang menyampaikan, pokoknya akhirnya si dokter ini tahu kalau dia ingin diambil mantu.
Si dokter yang dari keluarga ekonomi menengah ke bawah pun menyampaikan kalau dia tulang punggung keluarga. Dia masih membiayai orang tuanya dan adik-adiknya jadi belum siap menikah.
Namun entah bagaimana ’bujukan’ si ibu, akhirnya si dokter mau menikah dengan anaknya dan kabarnya seluruh biaya pesta, jas si pengantin pria, ongkos pesawat keluarga si pria, bahkan mas kawin si pria pun kabarnya sebenarnya adalah uang dari si ibu yang diakui sebagai uang keluarga si dokter.
Awalnya, pernikahan itu berjalan biasa-biasa saja, malah sudah ada satu bayi buah penikahan mereka. Namun keadaan mulai tidak nyaman ketika orang tua si dokter yang ekonominya susah tambah sering minta uang ke menantu perempuannya. Untuk benarin rumah, uang kuliah adik-adik si dokter dan alasan lainnya.
Awalnya si mantu perempuan masih meladeni, dari tabungannya dan gajinya tetapi lama-kelamaan kesal juga dan mulai berani tidak memberikan lagi, apalagi si dokter juga gajinya tidak pernah diberikan ke istrinya, tetapi katanya habis untuk biaya hidup di rumah sakit daerah dan dikirim ke orang tuanya (jarak rumah sakit si dokter dengan kota istrinya kurang lebih 3 jam).
Semenjak itu sering terjadi pertengkaran dan si dokter jadi jarang pulang ke rumah istri dan anaknya sampai akhirnya memutuskan bercerai.
”Ya, mungkin saja suamimu itu menabung uangnya untuk sekolah lagi, sedangkan uang yang biasanya dia kirim ke orang tuanya dia suruh minta ke kamu.”Kataku pada si anak saat visite berikutnya.
”Iya juga. Mungkin memang keluarga kami terlalu muluk berjanji ke keluarga mantan suamiku, tetapi lama kelamaan seperti merasa diperas dan akhirnya jadi seperti ini.”Katanya menyesali.
Kasus ini beberapa kali pernah kutemui. Ada pasien yang banyak keluhan gara-gara stress setelah ’membeli’ mantu. Biasanya keluarga kaya yang punya anak gadis yang tidak punya calon suami dan memaksakan perjodohan dengan pemuda-pemuda dari keluarga ekonomi sulit yang pekerjaannya ’menjanjikan’, seperti dokter, departemen keuangan, BUMN tertentu, perwira polisi/tentara, dan sebagainya.
Setelah pernikahan, kadangkala keluarga si perempuan lama kelamaan merasa diperas oleh besannya yang melulu minta ’subsidi’ dan berakhir dengan pertengkaran malah ada yang berujung ke perceraian.
Salahkan keluarga si pria?
Kalau mereka ditanya, maka pasti jawabannya mereka mau menikahkan anaknya karena memang keluarga si wanita menyanggupi membantu perekonomian mereka. Dan bila si laki-laki ditanya, maka dia pun merasa mau menikah karena ’dibeli’ dan bukan benaran cinta.
Memang susah kalau sudah begini ya. Yang penting untuk sementara si ibu yang stress diberi penenang dulu, selain pemberian cairan dan obat untuk pencernaan sampai semua keluhan fisiknya hilang.Selanjutnya pendampingan rohaniawan sangat dibutuhkan untuk mengembalikan semangat hidup si ibu dan menghindarkannya dari perasaan bersalah yang menghantui.
Demikianlah kisah ’beli mantu’ yang tidak berhasil membuat si mantu cinta benaran dengan istrinya dan malah menganggap dirinya masih ‘barang belian’.

Tinggalkan Komentar Anda Disini

    Followers

    Tukar Link